Teknik & Strategi

Manchester United dalam Krisis: Apa yang Salah dengan Setan Merah?

Musim ketiga di bawah kendali Erik ten Hag seharusnya menjadi era kejayaan bagi Manchester United. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Setan Merah masih terperangkap dalam badai inkonsistensi yang mengkhawatirkan, dengan performa naik-turun yang membuat para penggemar bertanya-tanya: ada apa sebenarnya dengan Manchester United?

Terbaru, MU gagal meraih kemenangan dalam lima pertandingan terakhir mereka, dengan empat hasil imbang dan kekalahan memalukan 3-0 dari Tottenham Hotspur di kandang sendiri. Di kancah Premier League, mereka terdampar di peringkat 14, hanya mengumpulkan sedikit poin dari tujuh pertandingan. Ini adalah awal musim terburuk klub dalam 35 tahun terakhir!

Rentetan hasil negatif ini sontak memicu keraguan besar terhadap kapabilitas Erik ten Hag. Media-media top Eropa sudah mulai membahas nama-nama calon pengganti, dan petinggi klub pun dikabarkan telah mengadakan rapat darurat untuk membahas masa depan pelatih asal Belanda ini.

Lalu, apa sebenarnya masalah yang membelit Manchester United, terutama dari segi taktik? Mari kita bedah bersama.

Badai Cedera dan Kebijakan Transfer yang Dipertanyakan

Salah satu masalah utama yang menghantui MU adalah badai cedera. Di awal musim ini, rekrutan baru seperti Mason Mount, Sofyan Amrabat, dan Rasmus Højlund langsung diterpa cedera. Tak hanya itu, pilar penting seperti Lisandro Martinez, Luke Shaw, dan Tyrell Malacia juga harus menepi. Bahkan, dua nama terakhir masih dalam masa pemulihan. Awal musim ini, nasib buruk kembali menimpa MU dengan cedera parah pada Leny Yoro, rekrutan anyar yang menjanjikan.

Cedera memang momok bagi setiap pelatih, bisa karena jadwal padat, intensitas latihan, atau bahkan penanganan staf medis yang kurang optimal. Yang jelas, situasi ini sangat mempersulit Ten Hag dalam meracik skuad terbaiknya.

Selain cedera, sorotan juga tertuju pada kebijakan transfer Ten Hag. Sejak menangani MU, ia telah menghabiskan sekitar €550 juta untuk mendatangkan pemain-pemain yang konon sesuai dengan taktiknya. Musim pertama ada Lisandro Martinez, Antony, Christian Eriksen, hingga Casemiro. Musim kedua, giliran Onana, Mason Mount, dan Højlund. Musim ini, nama-nama seperti Noussair Mazraoui, Matthijs de Ligt, Manuel Ugarte, dan Jeremie Frimpong sempat menjadi perbincangan.

Namun, sayangnya, sebagian besar pemain yang didatangkan ini belum mampu memberikan dampak signifikan. Banyak di antara mereka justru lebih sering menjadi cadangan, mempertegas kritik bahwa Ten Hag belum berhasil mengangkat performa tim, bahkan dengan pemain pilihannya sendiri. Tak sedikit pula yang menilai pilihan pemainnya terlalu “Belanda-sentris”, memicu pertanyaan tentang keberagaman strategi.

Ambiguitas Taktik: Transisi Terbaik atau Serangan Buntu?

Ten Hag pernah berujar bahwa ia ingin menjadikan MU sebagai tim dengan transisi terbaik di dunia. Namun, implementasinya masih menjadi tanda tanya. Taktik transisi MU tampaknya hanya efektif saat menghadapi lawan yang dominan dalam penguasaan bola, seperti saat mereka mengalahkan Manchester City di final FA Cup musim lalu dengan skema serangan balik mematikan.

Di beberapa pertandingan terakhir, serangan balik MU terlihat kurang tajam. Seringkali, umpan yang seharusnya dilepaskan ke ruang kosong di depan malah diberikan ke belakang pemain yang sudah berlari, sehingga momentum serangan balik pun hilang begitu saja.

Masalahnya, tidak semua tim akan bermain terbuka saat menghadapi MU. Ketika berhadapan dengan tim-tim “kecil” yang bermain bertahan dengan blok medium atau rendah, Manchester United justru kesulitan untuk membongkar pertahanan lawan. Situasinya bahkan berbalik: saat dipaksa bermain lebih dominan, MU justru sering kecolongan dalam situasi transisi karena struktur rest defense yang buruk.

Contohnya terlihat jelas dalam laga melawan Feyenoord. Transisi bertahan mereka dari blok tinggi ke blok rendah sangat buruk, memungkinkan bek kiri Feyenoord dengan leluasa mendribel bola dari belakang hingga ke depan. Meskipun berhasil dihentikan sebelum masuk area berbahaya, momen counterpress yang gagal membuat kepemilikan bola lepas dan defense yang tidak seimbang pun terekspos.

Ini bukan insiden tunggal. Di laga-laga selanjutnya, hal serupa kembali terulang. Bek lawan bisa dengan mudah menggiring bola menembus lini belakang MU yang renggang, bahkan sampai ke kotak penalti dan melepaskan umpan berbahaya.

Struktur pertahanan yang seringkali tidak rapi menjadi problem besar bagi MU untuk menjadi tim transisi terbaik. Mereka seharusnya mampu mendominasi duel di setiap area, namun kenyataannya masih jauh dari harapan. Momen di mana Mazraoui dan de Ligt kalah duel di lini tengah, membuka peluang bagi lawan, atau ketika Casemiro kalah duel yang berujung gol lawan, menunjukkan kerapuhan ini. Lini belakang yang tidak seimbang dan berada terlalu tinggi seringkali menjadi celah yang mudah dieksploitasi, seperti saat Lisandro Martinez harus menghadapi dua pemain Spurs dan dengan mudah dilewati, berujung pada gol.

Build-Up yang Terhambat dan Ketergantungan Individu

Meskipun mengusung ide sebagai tim transisi terbaik, saat menguasai bola, MU tetap menerapkan skema build-up konstruktif dari belakang. Biasanya, mereka menggunakan struktur 4-2 dengan Onana yang aktif dalam membangun serangan bersama dua center-back dan satu full-back di lini pertama. Sementara itu, Diogo Dalot yang bermain sebagai full-back kiri bisa lebih naik mengisi lebar lapangan atau masuk ke tengah untuk menambah koneksi.

Ide Ten Hag dalam fase build-up adalah melakukan progresi cepat dan vertikal ke depan. Namun, masalah sering muncul pada aspek eksekusi. Kesalahan-kesalahan elementer seperti passing yang tidak akurat kerap menghambat jalannya set-play build-up MU. Umpan yang terlalu deras atau terlambat ke pemain yang sudah bergerak seringkali membuyarkan serangan dari lini tengah.

Di fase menyerang, kekurangan lainnya adalah skema yang terlalu bergantung pada aksi individu para penyerang. Banyak peluang MU yang tercipta dari skill individu pemain seperti Marcus Rashford, Antony, Bruno Fernandes, dan Alejandro Garnacho. Meskipun mengandalkan skill individu sah-sah saja, masalahnya muncul ketika pemain-pemain ini sedang off-form. Serangan tim jadi tidak berjalan optimal.

Terlalu sering menyerang secara individu juga mengurangi kesadaran para penyerang MU terhadap rekan setim yang mungkin punya momentum lebih baik. Terlihat dalam satu momen, ada tiga pemain yang punya ruang lebih lebar, namun Garnacho memilih untuk melakukan gocekan yang justru gagal.

Selain serangan yang minim set-play atau terlalu bergantung pada individu, MU juga bermasalah pada penyelesaian akhir. Seringkali, saat ada pemain yang berdiri bebas di posisi berbahaya, final pass atau umpan akhir tidak akurat, sehingga momentum peluang pun hilang. Tak hanya final pass, finishing MU pun tidak optimal. Mereka berada di peringkat keempat sebagai tim yang paling sering gagal memaksimalkan big chance di liga. Bandingkan dengan Arsenal, Spurs, Liverpool, dan Chelsea yang sudah mencetak lebih dari 10 gol, MU baru mencetak 5 gol dengan jumlah big chance yang serupa.

Pertahanan yang Kurang Agresif dan Masa Depan Ten Hag

Di aspek bertahan, intensitas seringkali menjadi problem. Para pemain MU kerap kewalahan menghadapi lawan-lawan dengan serangan cepat dan cair. Dalam beberapa klip, terlihat para pemain MU bertahan terlalu “lembek” dan terlalu fokus pada bola, sehingga seringkali melepaskan kawalan terhadap pemain lawan yang berada di dekat mereka.

Pada akhirnya, rentetan hasil buruk ini akan menjadi faktor penentu nasib Erik ten Hag. Apalagi ditambah dengan belum jelasnya game model yang ingin ia terapkan. Jika hasil buruk ini menjalar ke ruang ganti dan kepercayaan pemain menurun, bukan tidak mungkin ia segera dipecat.

Related Articles

Back to top button