Tour Asia Manchester United 2025: Saat Sambutan Meriah Berganti Jadi Suasana Hambar

Musim 2024/2025 tampaknya menjadi salah satu musim paling kelam dalam sejarah Manchester United. Tak hanya gagal bersaing di papan atas Premier League, Setan Merah juga tak mampu berbicara banyak di Eropa. Harapan terakhir di Liga Europa pun pupus usai dikalahkan Tottenham Hotspur dengan skor tipis 1-0.
Dan dampaknya? Ternyata jauh lebih dalam dari sekadar kegagalan di atas lapangan.
Ketika Tur Asia Tak Lagi Disambut Meriah
Biasanya, kedatangan Manchester United ke Asia Tenggara bak festival sepak bola. Bandara penuh, hotel diserbu fans, dan tiket ludes dalam hitungan jam. Tapi kali ini, saat MU menginjakkan kaki di Malaysia untuk laga kontra ASEAN All Star pada 28 Mei, suasananya jauh berbeda.
Tak ada lautan manusia. Tak ada histeria. Bahkan Garnacho pun terlihat kaget. Ia membandingkan sambutan ini dengan pengalamannya tahun lalu saat bersama timnas Argentina ke Indonesia—di mana ia disambut meriah, bahkan diberi batik sebagai simbol penghormatan.
Tiket Laga Sepi, Fans Lebih Pilih Dukung Timnas
Tak hanya sambutan yang terasa hampa, penjualan tiket laga pun mengecewakan. Banyak fans di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, justru memilih menyimpan uang untuk mendukung timnas mereka di FIFA Match Day yang semakin dekat.
Apakah ini sinyal bahwa cinta fans mulai bergeser? Apakah kejayaan masa lalu MU sudah tak cukup untuk menjaga loyalitas di era modern ini?
Nama Besar Tak Lagi Jadi Jaminan
MU datang dengan skuad utama—Bruno Fernandes, Casemiro, hingga Onana pun ikut. Tapi ternyata, nama-nama besar ini tidak mampu menciptakan hype seperti yang diharapkan. Stadion tetap tak penuh, dan di media sosial, laga persahabatan ini tenggelam oleh antusiasme terhadap pertandingan timnas.
Bahkan Garnacho, yang dulu dielu-elukan saat ke Indonesia, kini hanya disambut hangat sebentar di hotel. Tak ada lagi batik, tak ada kenang-kenangan, dan jelas, tidak ada euforia seperti dulu.
Garnacho: Dari Euforia Batik ke Sambutan Biasa
Momen Garnacho menerima batik saat di Indonesia sempat viral di media sosial Argentina. Tapi tahun ini, ia kembali ke Asia bersama MU dan hanya disambut oleh kamera serta beberapa teriakan fans. Atmosfernya datar, tak ada sentuhan lokal yang membuat kunjungan ini terasa spesial.
Ekspresi kecewa Garnacho yang tertangkap kamera seakan mewakili perasaan banyak orang: “Lho, kok cuma begini?”
ASEAN All Star Tak Maksimal, Penonton Ragu
Kondisi tak ideal juga dirasakan pihak AFF dan tim ASEAN All Star. Banyak pemain top dari Thailand dan Indonesia, termasuk Asnawi Mangkualam, batal tampil karena harus fokus ke timnas. Akibatnya, skuad ASEAN All Star hanya dihuni sekitar 20 pemain dengan nama-nama yang kurang dikenal publik.
Fans pun makin ragu. Mereka tidak melihat MU dalam performa terbaiknya, dan tim lawan pun bukan benar-benar All Star. Laga ini jadi terasa “nanggung”.
Ketika Kejayaan Masa Lalu Tak Cukup
Kehadiran MU ke Asia dulu adalah perayaan besar. Kini, sambutannya ada, tapi hambar. Antusiasme masih hidup, tapi tak lagi membara. AFF pun ikut kena imbas—target stadion penuh meleset, promosi gencar tapi respon dingin, dan penjualan tiket jauh dari ekspektasi.
Ini jadi pengingat keras: dalam sepak bola modern, fans tak bisa terus-menerus diberi nostalgia. Mereka butuh alasan nyata untuk tetap setia—yakni prestasi dan perjuangan.
Sisi Positif: Pelajaran untuk Semua Pihak
Meski minim hype, laga ini tetap memberi nilai positif. Bagi pemain muda ASEAN, ini panggung pengalaman internasional. Bagi MU, meski musim penuh luka, mereka bisa pulang dengan sedikit kemenangan—meski bukan di Eropa.
Dan bagi AFF serta dunia sepak bola Asia Tenggara, ini jadi pelajaran penting. Event besar tanpa gairah publik hanya akan jadi tontonan hambar. Diperlukan organisasi yang matang, promosi yang tepat, dan tentu saja kualitas pertandingan yang benar-benar menarik.
⚽ Penutup:
Kunjungan Manchester United ke Asia kali ini bukan hanya tentang pertandingan persahabatan. Ini adalah cermin perubahan. Bahwa kejayaan masa lalu tak lagi cukup untuk menjaga cinta fans. Di era sepak bola modern, loyalitas adalah hasil dari kerja keras, bukan warisan sejarah.