Mengungkap Rahasia Jose Mourinho Mengapa AS Roma Tak Perlu Mendominasi Bola untuk Meraih Kemenangan

Di tengah gempuran tren sepak bola modern yang menekankan penguasaan bola, Jose Mourinho tetap teguh pada filosofinya. Pelatih berjuluk “The Special One” ini membuktikan bahwa sebuah tim tak harus mendominasi bola untuk meraih kemenangan, bahkan di kompetisi Eropa sekalipun. Musim lalu, ia membawa AS Roma meraih gelar UEFA Conference League, dan musim ini, ia kembali mengantarkan Giallorossi ke final Liga Europa, menantang Sevilla.
Bagaimana Mourinho melakukannya? Mari kita selami lebih dalam taktik antitesisnya yang terbukti merepotkan tim-tim penguasa bola.
Menggandaskan Leverkusen dengan Statistik ‘Minoritas’
Salah satu bukti nyata keberhasilan taktik Mourinho terlihat jelas di semifinal Liga Europa melawan Bayer Leverkusen asuhan Xabi Alonso. Pada leg pertama, AS Roma hanya mencatatkan 38% penguasaan bola, jauh di bawah Leverkusen. Namun, di luar dugaan, Roma mampu menciptakan lebih banyak peluang dan meraih kemenangan tipis 1-0.
Di leg kedua, Mourinho semakin mempertegas filosofinya. Penguasaan bola Roma turun drastis menjadi hanya 28%. Dengan pendekatan yang lebih reaktif, Roma berhasil meredam gempuran Leverkusen, meski harus menahan 23 tembakan. Menariknya, sebagian besar tembakan tersebut dilakukan dari luar kotak penalti, menghasilkan nilai Expected Goals (xG) yang sangat rendah, hanya 1.14. Ini menunjukkan bahwa pertahanan Roma yang solid sukses mencegah Leverkusen menciptakan peluang emas.
Fenomena serupa terjadi di final Conference League musim lalu. Roma hanya memiliki 33% penguasaan bola namun tetap mampu memenangkan pertandingan dengan skor 1-0. Mourinho jelas berpegang teguh pada prinsipnya: sebuah tim tidak perlu menguasai bola untuk mengontrol pertandingan, dan kemenangan diraih oleh tim yang lebih sedikit melakukan kesalahan.
Fondasi Taktik: Formasi Fleksibel dan Pertahanan Berlapis
Mourinho kerap menggunakan formasi 3-4-2-1, 3-4-1-2, atau 3-5-2 bersama AS Roma. Meskipun ada perubahan di lini tengah dan depan, fondasi utamanya tetap sama: tiga bek yang bertransformasi menjadi lima bek saat bertahan, dengan dua wing-back yang turun sejajar.
Dalam laga melawan Leverkusen, Mourinho menggunakan 3-4-1-2 di leg pertama dan 3-5-2 di leg kedua. Di lini belakang, Chris Smalling, Gianluca Mancini, dan Roger Ibanez menjadi trio andalan. Menariknya, Bryan Cristante terkadang digeser ke belakang mengisi posisi center-back, menunjukkan fleksibilitas dalam pemilihan pemain. Mancini, sebagai wide center-back di sisi kanan, memiliki peran krusial untuk melebar ke area full-back atau bergerak ke half-space.
Lini tengah Roma biasanya diisi oleh satu gelandang bertahan, seperti Nemanja Matic, didampingi oleh dua gelandang box-to-box seperti Lorenzo Pellegrini dan Nicolo Barella. Pellegrini juga bisa ditempatkan di belakang striker saat Mourinho menerapkan formasi 3-4-1-2 atau 3-4-2-1. Di lini depan, Tammy Abraham menjadi striker utama, kerap didampingi oleh Andrea Belotti.
Membangun Tembok Pertahanan: Dari Medium Block Hingga Low Block
Taktik pertahanan Mourinho adalah kuncinya. Timnya dibentuk untuk tahan terhadap serangan lawan, bahkan tanpa penguasaan bola. AS Roma bertahan dengan shape 5-3-2 saat melakukan medium block. Sistem pertahanan ini terbagi menjadi dua bagian:
Tiga gelandang dan dua striker di depan menerapkan zona marking, menutup akses progresi bola ke tengah, dan bergerak secara unit mengikuti arah bola. Saat lawan memindahkan serangan ke sisi jauh, kelima pemain ini akan mengikutinya. Gelandang terluar, seperti Edoardo Bove atau Pellegrini, akan berperan untuk menekan wing-back atau gelandang lawan yang menerima bola di sisi jauh.
Lini belakang dengan lima bek menggunakan sistem man marking. Center-back terluar Roma, Mancini dan Ibanez, akan mengikuti gelandang serang lawan yang bergerak turun untuk mengekspos ruang di depan backline atau di samping gelandang Roma. Keunggulan dari shape lima bek ini adalah saat satu bek naik keluar dari posisinya, masih ada center-back lain yang akan meng-cover area yang ditinggalkan.
Saat block depan berhasil dilewati, AS Roma akan menurunkan blok pertahanannya menjadi low block. Di momen inilah mereka menumpuk pemain di area kotak penalti, mempersulit lawan masuk dan mencegah terciptanya peluang berbahaya dari area tersebut.
Serangan Balik Cepat dan Transisi Adaptif
Meskipun fokus pada pertahanan, Roma tetap mampu menciptakan peluang melalui skema serangan langsung atau direct play. Cristante dan Mancini sering melepaskan long ball dari belakang, mengincar area di belakang pertahanan lawan.
Dalam skema ini, dua striker Roma memiliki peran berbeda. Sebelum long ball dilepaskan, Tammy Abraham akan bergerak menarik bek lawan untuk membuka ruang bagi Belotti yang bergerak mengekspos area di belakang backline lawan. Long ball Roma juga bisa difungsikan untuk memperlebar jarak antar lini tengah dan lini belakang lawan.
saat pertahanan lawan turun merespons long ball yang tidak diikuti oleh lini tengah, terciptalah ruang lebar di antara keduanya. Ruang inilah yang dieksploitasi oleh AS Roma. Striker yang menjadi target long ball akan memantulkan bola kepada gelandang Roma yang naik mengekspos ruang tersebut. Skema ini persis yang terjadi pada gol Bovey di leg pertama melawan Leverkusen.
Mourinho juga sangat adaptif dalam transisi. Di leg pertama semifinal melawan Leverkusen, saat skor masih 0-0, pemain Roma cenderung melakukan counter-press untuk merebut bola kembali saat kehilangan bola. Namun, di leg kedua, saat Roma sudah unggul agregat dan fokus mempertahankan keunggulan, para pemain akan langsung mundur ke belakang untuk mengatur kembali struktur pertahanannya.
Dampak Taktik Mourinho: Soliditas Pertahanan dan Kekurangan di Lini Depan
Taktik Mourinho terbukti membuat pertahanan Roma sangat terjaga. Di Serie A, Roma baru kebobolan 35 gol, menjadikannya tim dengan pertahanan terbaik keempat setelah Napoli, Lazio, dan Juventus. Di Liga Europa, mereka juga menunjukkan soliditas yang mengesankan.
Namun, ada konsekuensi dari pendekatan taktik ini: berkurangnya daya gedor di lini depan. Catatan gol Roma terbilang rendah. Dari 36 laga di Serie A, mereka hanya mencetak 47 gol, terendah dibandingkan tujuh tim teratas di klasemen.
Meskipun demikian, keberhasilan Mourinho membawa AS Roma tampil gemilang di kompetisi Eropa dengan filosofi yang unik membuktikan bahwa sepak bola tidak selalu tentang dominasi penguasaan bola. Terkadang, mengontrol pertandingan justru berarti membiarkan lawan menguasai bola dan menghukum kesalahan mereka.
Apa pendapat Anda tentang taktik Jose Mourinho ini? Apakah Anda setuju bahwa penguasaan bola bukanlah segalanya dalam sepak bola modern? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!






